Selasa, 08 April 2014

Ketika Cinta Mengajarkanku untuk Berhijab



Bukan sekali dua kali aku menyakiti perasaan Ayah dan Ibu. SERING, iya aku sering menyakiti perasaan mereka. Bukan sekali dua kali aku menyakiti perasaan laki-laki yang mendekatiku. SERING, iya aku sering menyakiti perasaan mereka. Aku sering menyakiti perasaan siapa saja yang ada didekatku. Ini adalah cerita yang aku angkat dari kisah nyata kehidupanku sendiri, yang sebenarnya aku masih sering menitikkan air mata saat mengingat apa lagi menceritakannya.

Ibu, ialah sosok yang baik, ramah, dan lembut. Ia merupakan malaikat yang Tuhan kirimkan untukku, namun aku sering menyakitinya hingga membuatnya menangis. Pernah suatu hari ibu ku menangis dan berlutut dihadapanku sambil berkata “Ibu minta maaf nak jika ibu mempunyai salah”. Kata itu yang masih teringat sampai saat ini. Betapa jahatnya perlakuanku terhadap ibu yang mengandung dan melahirkanku sampai-sampai ia menangis dan berlutut di hadapanku.

Ayahku 180 derajat berbeda dengan Ibuku. Ia merupakan sosok yang gagah, keras, dan penuh kedisiplinan. Sejak kecil aku di didik dengan keras. Aku selalu dimarahi jika tidak bisa mengerjakan PR atau jika  bermain bersama teman-teman. Saat aku kecil , Ayah adalah sosok yang paling aku takuti. Tapi saat aku dewasa, takut itu sirna. Saat Ayah memarahiku, aku juga bisa memarahi Ayah. Saat Ayah memasang raut muka marah, aku juga bisa. Inilah aku, semakin dewasa semakin tak tahu apa-apa. Tak tahu etika dan tak tahu sopan santun.

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan sosok laki-laki yang baik, bijaksana, dan pintar. Tapi ada hal yang paling aku sukai darinya, “ketidak sempurnaan”. Ya, dia memang tidak sempurna secara fisik. Fisiknya tak seperti laki-laki pada umumnya. Dia juga menderita penyakit yang terkenal sangat mematikan. “Kanker”, dia menderita penyakit kanker darah yang sebenarnya  penyakit itu sudah di derita sejak dia lahir. Walau demikian, aku tetap mencintainya. Biarlah fisiknya tak sempurna, tapi hatinya sempurna. Entah apa yang membuat aku begitu sangat mencintainya. Mungkin karna kepribadiannya yang sangat menghargai perempuan.

Aku sangat mencintai dia, aku sangat mencintai dan menghargai perasaannya. Aku tak ingin sekalipun menyakiti perasaannya. Karna jika sekali aku menyakiti perasaannya, aku merasa memiliki kesalahan yang sangat besar. Tapi bagaimana dengan orang tuaku? Apakah saat itu aku menghargai perasaan mereka? TIDAK! Apakah aku terlihat buruk? Ya, aku tahu aku memang sangat buruk sebagai anak.

Dia, kekasihku, mengetahui semua tentang kehidupan pribadiku. Tentang aku yang selalu menyakiti  perasaan orang tuaku. Yang dia katakana setiap hari adalah “kamu jangan seperti itu sama orang tua kamu, kasihan mereka. Mereka selama ini berjuang untuk kehidupanmu, untuk masa depanmu”. Dia selalu berusaha menyadarkanku bahwa aku harus patuh dan jangan pernah menyakiti perasaan orang tuaku. Aku sadar mereka selama ini berjuang keras untuk memenuhi kehidupanku. Ayahku yang bekerja sebagai Kuli Bangunan dan Ibuku yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Terkadang aku kasihan dan aku sedih mengingat perjuangan Ayah, mengingat ketika Ibu menangis, tapi aku merasa “gengsi” yang membuat aku tidak bisa dan tidak mau untuk meminta maaf kepada mereka.

Dan tepat pada tanggal 12 Juni 2011, orang yang aku cintai, dia harus masuk Rumah Sakit karna penyakit kankernya. Aku selalu menemani dia dan selalu berdoa untuknya. Aku menangis karna aku takut terjadi sesuatu hal yang sangat tidak aku inginkan. Dan tepat pula pada hari minggu 19 Juni 2011, orang yang sangat aku cintai pergi untuk selamanya. Dia pergi dan tak akan pernah kembali lagi.

Aku hanya bisa menangis, kenapa Tuhan? Kenapa kau ambil dia? Kenapa kau tidak mengabulkan doaku? Kenapa kau mengambil orang yang sangat aku cintai? Kembalikan dia Tuhan, aku mohon. Hanya itu yang bisa aku tanyakan setiap hari.

Sebelum dia pergi, dia sempat mengatakan sesuatu kepadaku, “Terimakasih sudah mencintaiku, tapi masih ada orang yang lebih membutuhkan cinta ini. Cintai, sayangi, dan hargai mereka sebelum mereka pergi agar kamu tidak menyesal. Dan jadilah perempuan sholehah yang selalu berada di jalan Allah”. Itu adalah kalimat terakhir darinya. Aku mulai merenungkan arti dari kalimat itu. Namun aku hanya bisa menangis karna aku sangat terpukul atas kepergiannya.

Namun setelah beberapa hari kepergiannya, entah apa yang terjadi padaku, aku ingin menangis saat melihat wajah Ibu dan Ayahku. Apakah aku terlalu menyakiti perasaan mereka?. Dan saat itu pula aku mengingat kembali perkataan orang yang telah pergi untuk selamanya. Aku pun berkata pada diriku sendiri, “Ayah, Ibu, maafkan aku. Aku tidak ingin menyakiti kalian lagi, karna jika nanti kalian juga pergi selamanya, aku tidak bisa melakukan apa-apa dan pasti hanya ada penyesalan. Maafkan aku”.

Sejak saat itu, aku mulai menghargai perasaan orang tuaku. Aku tidak lagi membuat mereka terluka dan aku tidak lagi memarahi mereka. Saat mereka menyuruhku melakukan sesuatu yang positif, aku dengan senang hati melakukannya. Dan setelah itu pula aku mulai memutuskan untuk menutup auratku, aku memutuskan untuk berhijab.

Suci dan kuatnya cintaku untuk dia yang telah pergi dan tulusnya cintanya kepadaku, mampu membuat hatiku yang keras seperti batu berubah menjadi lembut. Tak hanya kepala yang aku hijabi, tapi hatiku juga. Berkat dia, berkat orang bijaksana itu ^_^ Semua ini karna besarnya cinta, cinta yang diberikan Almarhum untukku, cinta yang aku berikan untuknya, dan cinta yang diberikan orang tuaku kepadaku. Cinta yang sampai kapanpun akan tetap utuh, utuh di dalam hatiku.

Terimakasih Ayah dan Ibu, kalian masih menyayangiku walau aku sering menyakiti perasaan kalian. Dan terimakasih untuk dia yang di Syurga, karna telah menyadarkan dimana aku harus melabuhkan cintaku, dimana letak cinta yang sesungguhnya. Aku tidak akan pernah melupakanmu,sayang. Karna kau adalah pintu dari keterpenjaraanku dalam kegelapan yang membelenggu selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar